1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Jakarta Timur.

2. Koordinator Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas.

3. Ketua Monitoring Untuk Pemerintahan Bersih (MUPB)

Kamis, 18 Juli 2013

Akar Penindasan Perempuan

Penindasan terhadap kaum perempuan tidak terjadi secara “alamiah”. Tetapi, karena sistem yang ada menginginkan hal ini terjadi. Dalam perkembangan masyarakat sebelumnya, kecuali pada masyarakat komunal primitif, peran seorang perempuan selalu dikaitkan dengan keluarga yang ia miliki dan seorang laki-laki sebagai “kepala” rumah tangganya. Dalam masyarakat seperti ini, keluarga memainkan peranan penting untuk mengatur pembagian kelas, memastikan bahwa kekayaan tidak ada bagi kemakmuran mereka dan memiskinkan kemanusiaannya.
Penindasan kaum perempuan mempunyai akar sejarah yang panjang. Sistem produksi kapitalis yang menyandarkan peran kaum modal dan memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang paling ditindas, adalah basis persoalannya. Jadi, penindasan itu bukan berasal dari kategorisasi seksual laki-perempuan. Kategori biologis hanya dijadikan alat legitimasi untuk mengeksploitasi kaum perempuan secara ekonomi, memberi upah rendah dan diskriminasi sosial sebagai upaya menekan biaya produksi kaum pemodal itu.
Perempuan bukan konco wingking; bukan warga negara kelas dua. Sejarah menunjukkan bahwa pada mulanya, dunia bergerak maju karena manusia (laki-laki dan perempuan) telah berhasil mengelola alam dengan membuat, menggunakan, dan memodernisasi alat-alat kerja, sehingga hasil produksi dapat berlimpah (surplus). Pengelolaan tersebut dilakukan dengan setara: tidak ada yang memiliki lebih banyak dari yang lain; tak ada yang mendominasi satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin lainnya.
Ketidaksetaraan, penindasan, dominasi, diskriminasi, penomerduaan perempuan berkembang dan terstruktur secara luas oleh karena kepemilikan pribadi terhadap surplus produksi dan alat-alat produksi (kelas). Dan ini tidak terjadi seketika (dari sononya atau takdir). Ketidakadilan terhadap perempuan adalah ciptaan manusia oleh karena kelas dan patriarki, sehingga bisa diubah oleh manusia itu sendiri.
Manusia perempuan (dan laki-laki) sudah berjuang lebih dari 100 tahun yang lalu untuk kesetaraan dan keadilan. Hasilnya, seperti yang sudah kita nikmati sekarang: perempuan memiliki hak pilih, dapat bekerja, beraktivitas di luar rumah, sekolah, diakui hak atas tubuh dan seksualitasnya, mendapatkan berbagai perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, dll. Namun kenyataannya, sebagian besar hak-hak tersebut tak bisa didapatkan oleh semua perempuan di bawah sistem ekonomi dan politik yang mengabdi pada kepentingan para pemilik modal.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa penindasan pada perempuan dalam perspektif ini bahwa lebih dikarenakan oleh adanya sistem produksi kapitalis. Sistem produksi kapitalis ini yang akhir memunculkan budaya patriarki pada masyarakat yang akhir berdampak pada munculnya ketidak adilan gender. Untuk itulah ketidakadilan terjadi sebenarnya lebih banyak dikarenakan oleh  persoalan konstruksi sosial dan budaya yang pathiarkhis, pemahaman dan penafsiran agama yang sepihak, negara yang tidak berpihak dan justru melegitimasi ketidakadilan tersebut, sistem ekonomi yang eksploitatif dan lain sebagainya. Proses penyebaran ketidakadilan inilah yang  secara bertahap akhirnya menginternalisasi dalam mind set masyarakat dengan istitusinya , negara dengan aparat dan institusinya bahkan pada diri perempuan itu sendiri sehingga terjadilah apa yang namanya lima ketidakadilan gender pada perempuan.
Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena  saling berkaitan dan berhubungan, saling mempengaruhi dialektis . tidak ada satupun manifestasi ketidakadilan gender yang lebih penting, lebih esensial dari yang lain. Misalnya marginalisasi ekonomi kaum perempuan , yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi dan visi kaum perempuan sendiri.
Dengan demikian, kita tidak bisa menyatakan  bahwa marginalisasi kaum perempuan adalah menentukan dan terpenting dari yang lain dan oleh karen itu perlu mendapatkan perhatian lebih. Atau sebaliknya, bahwa kekerasan fisik (violence) adalah masalah yang paling mendasar yang harus dipecahkan terlebih dahulu.
1)  Marginalisasi Perempuan
Proses marginalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh pelbagai kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan disebabkan oleh gender. Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta proses marginalisasi kaum perempuan karena perbedaan gender tersebut. Dari segi sumberdaya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama,  tradisi dan kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
Banyak studi telah dilakukan dalam rangka membahas program pembangunan pemerintah yang menjadi penyebab kemiskinan kaum perempuan. Misalnya, program swa sembada pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi panenan dengan  ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan  digunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya  banyak kaum perempuan miskin di desatermarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Berarti program revolusi  hijau dirancang tanpa mempertimbangkan aspek gender.
Marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi  di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat dan keagamaan. Misalnya banyak suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan hak waris sama sekali.
2) Subordinasi
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan irrasional atau emosional sehingga  perempuan tidak bisa tampil memimpin, beakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di Jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi , toh akhirnya akan ke  dapur juga. Bahkan, pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak ke tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus  mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan menadapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
3) Stereotipe
Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya strereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu diakitkan dengan stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan korbannya. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe terhadap kaum perempuan ini terjadi di mana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.
4) Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki  sifat-sifat memelihara dan rajin, serta tidak  cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggugnjawab kaum perempuan. Konsekuensinya banyak kaum perempuan yang  harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai,memasak, mencuci,mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh  perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda.  Bias gender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis ”pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang dianggap sebagai ”pekerjaan lelaki”, serta dikategorikan sebagai ”bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan,karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik itu. Kesemuanya ini telah memperkuat pelanggengan secara kultural beban kerja kaum perempuan.
5) Kekerasan,
Adanya pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan laki-laki adalah yang kuat dan berkuasa sehingga kerapkali  mereka dijadikan objek kekerasan baik secara kultur (pathiarkis) maupun struktural (negara).
Jadi dalam untuk melawan penindasan pada perempuan tidak hanya dilakukan melalui proses perberdayaan saja, perlu juga diimbangi adanya semangat juang untuk melawan kapatalisme global.