Asas Legalitas biasanya tercermin dari ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenali, yang berarti tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu.
Asas Legalitas merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu
dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas.
Asas ini juga melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin
keamanan individu dengan informasi yang boleh dan dilarang.
Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang
perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi berdasarkan asas ini,
tiada satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh hakim jika
belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan.
Sebagaimana dalam hukum positif yang menerapkan asas legalitas, dalam
hukum Islam juga ada kaidah-kaidah pokok yang sangat fundamen,
diantaranya:
“Tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat sebelum turun/ ada nash yang mengaturnya”
Kemudian kaidah yang berbunyi:
“Tidak ada tindak pidana (jarimah) dan tidak ada hukuman kecuali dengan nash.”
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan
dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia mempunyai
kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga
ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat berlaku
ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan aturannya,
karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Prinsip asas legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan hudud. Pelanggarnya
dihukum dengan sanksi hukum yang pasti. Prinsip tersebut juga
diterapkan bagi kejahatan qishas dan diyat dengan diletakkannya prosedur
khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa prinsip ini
berlaku sepenuhnya bagi kedua kategori diatas.
Mekipun hukum pidana Islam tidak berlaku surut dengan adanya
kaidah-kaidah di atas, bukan berarti bahwa semua kasus yang tidak ada
nashnya (teks) hukum serta sanksi hukumnya tidak dapat dijatuhi hukuman.
Karena dalam hukum pidana Islam dikenal istilah ta’zir dimana ketentuan hukum dan sanksi atas suatu perbuatan/ jarimah yang tidak ada ketentuan nashnya diserahkan kepada penguasa (ulil amri) yang berkuasa pada saat itu.
Hukum Pidana Islam memang melarang adanya aturan yang berlaku ke
belakang (berlaku surut), karena pemberlakuaan terhadap prinsip berlaku
surut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Namun demikian,
menurut Osman Abdul Malik as-Saleh dan Nagaty Sanad sebagaimana yang
dikutip oleh Topo Santoso, mereka menyatakan bahwa kebanyakan ahli hukum
Islam berpendapat bahwa hanya ada satu pengecualian bagi berlakunya
asas retroaktif, yaitu jika ketentuan hukum yang baru lebih
ringan (menguntungkan) dibanding hukum yang ada pada waktu perbuatan itu
dilakukan, dalam kasus seperti ini hukum yang lebih ringanlah yang
diterapkan.
Sumber :