1. Ketua Forum Redam Korupsi (FORK) – Cabang Jakarta Timur.

2. Koordinator Konsultasi Hukum Bagi Rakyat Tertindas.

3. Ketua Monitoring Untuk Pemerintahan Bersih (MUPB)

Sabtu, 16 November 2013

Reformasi dan Nasib Pelanggaran HAM

Lima belas tahun usia reformasi, beragam capaian telah diraih oleh bangsa Indonesia, untuk menempatkan dirinya sebagai negara yang bermartabat, demokratis, dan memberikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, sejumlah persoalan masa lalu, khususnya yang terkait dengan praktik pelanggaran HAM sampai sekarang belum terselesaikan dan tidak ada keadilan bagi korban, termasuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Situasi ini tentunya akan terus menjadi ganjalan sejarah bagi perkembangan dan kemajuan bangsa ini ke depan, rangkaian kejahatan tersebut akan terus menjadi noda hitam sejarah, tanpa adanya suatu penyelesaian yang tuntas.

Pelanggaran HAM berat lainnya terus berlangsung, baik dibawah rezim soeharto diantaranya adalah Penembakan Misterius (1982-1983), Tragedi Tanjungpriok (1984), Tragedi Talangsari (Lampung, 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1976-2005), Tragedi peristiwa Dili (Santa Cruz) (1991), DOM Papua (1969-2001), Pembunuhan Marsinah (1993), Penyerbuan di Haurkoneng (1993), Tragedi 27 Juli (1996), Penghilangan paksa dan penculikan aktivis pro demokrasi (1997-998), maupun dalam masa transisi politik setelah kejatuhan Soeharto masih diselimuti dengan pelanggaran HAM lainnya seperti kasus Tragedi Trisaksi-Semanggi I dan II (TSS) (1998-1999), Tragedi Mei (1998), Pembumi-hangusan Timor-Timur pasca jajak pendapat (1999), Kasus Abepura (2000), dan Kasus Wasior-Wamena (2001-2003), pembunuhan Munir (2004) dan kasus konflik sosial-horizontal sesama warga negara, baik berprespektif agama (kasus Ahmadiyah, kasus Syiah, dan GKI Yasmin), etnik (kerusuhan dayak vs madura), dan kelompok rentan (perempuan dan anak), dimana negara seringkali lalai dan bahkan melakukan pembiaran (by omission) terhadap keberlangsungan pelanggaran HAM tersebut.
Negara memiliki kewajiban (state obligation) kepada warganya untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak asasi setiap warganya. Dalam sejarah pemerintahan Orde Baru kondisi hak asasi manusia (HAM) sangat diabaikan bahkan kekuasaannya dibangun diatas pondasi pembunuhan massal (mass killing) terhadap lawan-lawan politiknya dalam kasus tragedi kemanusiaan 1965-1966. jutaan manusia kehilangan nyawa, penahanan tanpa proses peradilan, dan stigmatisasi yang menyebabkan anak keturunan mereka yang dicap “PKI” kehilangan hak-hak sipil politik maupun ekonomi, sosisal dan budaya. Bahkan demi mempertahankan kekuasaan telah terjadi pelbagai pelanggaran HAM berat sebagaimana hasil penyidikan Komnas HAM. Eksploitasi, despotisme, deparpolisasi, dan deideologisasi merupakan rangkaian kebijakan untuk melanggengkan kekuasaan dengan dukungan militer sebagai Instrumen refresifnya.
Dalam transisi politik, pemerintahan Presiden BJ. Habibie bertahan sekitar 17 bulan, tetapi kebijakannya dalam bidang reformasi politik dan hukum dianggap responsif-akomodatif. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, menjadi komitmen bersama tentang pentingnya penghormatan terhadap HAM, dan dalam rangka menjalankan mandat ketetapan MPR tersebut, kemudian lahir UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur jaminan perlindungan HAM bagi segenap warga negara, serta program ratifikasi instrumen internasional HAM.
Selain itu, secara mengejutkan Presiden Habibie memutuskan referendum untuk menentukan nasib dan masa depan Timor Timur yang terus menerus menjadi sorotan dunia Internasional. Hasil jajak pendapat itu menimbulkan dugaan pelanggaran HAM berat. Melalui resolusi komisi tinggi PBB tahun 1999 dibentuk International Commission of Inquiry on East Timor (ICIET), untuk melakukan penyelidikan atas kemungkinan adanya pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum humaniter internasional di Timor Timur. Laporan komisi memperlihatkan; a). Ada bukti-bukti pelanggaran atas hak-hak asasi dan hukum humaniter internasional dan merekomendasikan perlunya dibentuk mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku diantaranya melalui pembentukan tim penyelidik independen oleh PBB untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut; b). Membentuk tribunal di tingkat internasional peristiwa Timor-Timur. Dua rekomendasi inilah yang sangat mempengaruhi lahirnya resolusi Dewan Keamanan PBB No 1264 yang diadopsi pada tanggal 15 September 1999 dalam sidangnya yang ke 4045. Dalam resolusi ini Dewan Keamanan menyerukan agar dilakukan pertanggungjawaban atas para pelaku.
Pemerintah dan elit TNI kuatir atas rekomendasi pembentukan pengadilan Internasional atas kasus Timor-Timur, maka segera dibuat Perppu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM yang kemudian berubah menjadi UU No. 26 tahun 2000. Di era pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden juga telah melakukan upaya langkah-langkah penegakan HAM bahkan terbilang radikal dengan mencopot Jenderal Wiranto dari jabatan Menko Polkam untuk mengurangi pengaruh militer dalam bidang politik dan hukum. Penghormatan hak-hak sipil politik mengalami perkembangan, setiap orang bebas bergerak dan menyampaikan pendapatnya bahkan memprotes kebijakan presiden Gusdur sekalipun sesuatu yang dianggap wajar dan bukan ancaman.
Transisi politik itu menggambarkan terjadinya proses peralihan dari otoritarianisme Orde Baru menuju sistem politik demokratis, terbuka dan lebih menghormati Hak Asasi Manusia. Pengakuan agama Konghucu sebagai salah satu agama resmi di Indonesia, penghapusan istilah Pribumi dan Non-Pribumi karena dianggap diskriminatif terhadap warga Tionghoa, pemisahan TNI dan Polri melalui TAP MPR No. VI/MPR/2000, serta pembentukan pengadilan HAM ad-Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Keppres No. 53 Tahun 2001).
Langkah reformasi Gusdur tidak berjalan mulus, pelbagai tantangan menghadang. Kasus Buloggate dan Bruneigate menjadi batu sandungan dan propaganda lawan-lawan politiknya. Konfigurasi politik berubah, perlawanan koalisi besar Golkar, PDI-P dan poros tengah –dulu parpol pengusung- ditambah kekuatan dan pengaruh elit politik TNI/Polri yang memang kurang senang dengan Gusdur membuatnya semakin terjepit. Interpelasi pertama dan kedua DPR meminta penjelasan dan pertanggungjawaban Presiden tetapi diabaikan hingga MPR melengserkan Gusdur melalui Sidang Istimewa pada 22 Juli 2001 sesuai dengan mekanisme impeachment yang diatur dalam UUD 1945.
Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sendiri disokong penuh oleh elit TNI/Polri dan kekuatan politik parlemen yang bersifat pragmatis dan taktis, politik tentara pun masih bercokol di parlemen kendatipun dari segi jumlah semakin berkurang dan sesuai dengan konsensus setelah pencabutan dwi fungsi ABRI, TNI/Polri paling lambat hengkang dari parlemen hingga pemilu 2004. penegakan hukum, perlindungan dan peningkatan hak asasi manusia terus dilakukan sebagai amanat reformasi, sekalipun tolak-tarik kekuatan politik semakin nyata dengan lambannya arus reformasi penegakan HAM.
Hambatan rezim megawati mengemban amanat reformasi karena dikelilingi kelompok kepentingan politik dan birokrasi sisa Orde Baru yang juga memiliki agenda politik tersendiri. Jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya semakin menemui tantangan berat, bisnis TNI/Polri sebagai bagian dari reformasi internal sampai sekarang tidak jelas ujung-pangkalnya, hak-hak pekerja yang di PHK terabaikan, konflik etnis, agama dan konflik bersenjata terjadi di pelbagai daerah mengakibatkan banyaknya kehilangan nyawa, pekerjaan, rumah tinggal dan harta benda. Dalam situasi seperti itu, kesinambungan kekuatan dan kepentingan yang bersumber dari politik dan ekonomi Orde Baru tetap bertahan secara signifikan. Akibatnya, transisi politik tidak akan mengikuti garis lurus dari otoriter ke demokrasi, tetapi bisa bergerak ke arah yang berbeda dan bahkan dapat berbalik arah.
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diketahui bukan hanya bersifat kodrati yang melekat pada diri setiap manusia tetapi juga manusia dikarunia akal pikiran dan hati nurani. Tegasnya, bahwa hak asasi itu adalah hak yang sudah melekat pada setiap manusia yang digolongkan juga sebagai hak-hak alamiah (natural rights). Hak-hak alamiah ini antara lain hak hidup dan hak atas pemenuhan kebutuhan hidup. Disini sering terjadi salah pemahaman tentang konsepsi HAM dengan mengatakan ”HAM Polisi”, ”HAM tentara” dan lain-lain, karena HAM melekat pada diri manusia dan bukan pada profesi seperti polisi atau tentara meskipun polisi dan tentara itu adalah manusia. Polisi dan tentara adalah alat-alat koersif (kekerasan) negara dan sub-sistem kelembagaan negara.
Kelemahan konstitusi UUD 1945 (sebelum amandemen) juga turut mendukung penciptaan pemerintahan yang otoriter karena atribusi kekuasaan eksekutif terlampau besar sehingga tafsir konstitusi bersifat tunggal hanya penguasa semata. Perlindungan hak asasi manusia (HAM) menjadi agenda dan ikhtiar utama dari gerakan reformasi yang menuntut amandemen UUD 1945 dan terus menerus mendorong maju proses demokratisasi, dan pada sidang tahunan MPR tahun 2000 akhirnya memasukkan perlindungan HAM ke dalam Undang-Undang Dasar sebaimana dimuat dalam BAB XA berisi 10 Pasal HAM, dari pasal 28A-28J.
Dalam transisi politik menurut Rocky Gerung, sedikitnya ada dua indikator yang harus dipenuhi dalam melindungi dan menjamin hak asasi manusia. Pertama, Proses demokratisasi tercermin dalam pelembagaan politik seperti pengaturan lembaga-lembaga negara yang lebih seimbang (Presiden, DPR, MA, MK dan lain-lain), yang melindungi dan menjamin kebebasan politik tanpa diskriminasi, serta adanya jaminan bagi kegiatan serikat buruh dan petani dalam memperjuangkan hak mereka, Kedua, Perlindungan Hak Asasi Manusia dikukuhkan dalam hukum positif melalui UUDN RI 1945 maupun reformasi hukum atas perundang-undangan dan ratifikasi norma-norma hak asasi manusia, dan reformasi sistem peradilan dengan para hakim yang tidak lagi bercorak positivisme-legalistik yang sudah usang tetapi lebih progresif-responsif. teori keadilan retributif dan komutatif Aristoteles telah mengalami kemajuan pesat dengan munculnya konsep keadilan restoratif yang menekankan pemulihan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat.
Dalam masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode ini (2004-sekarang), Penegakan HAM tidak menampakkan perkembangan apapun bahkan di nilai gagal. SBY tidak menindak lanjuti secara serius laporan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung. hal ini dapat dilihat dari bolak baliknya berkas perkara pelanggaran HAM berat dari Komnas HAM ke Kejagung begitupun sebaliknya dengan alasan penyelidikan tidak lengkap atau pengadilan HAM ad Hoc yang belum terbentuk. Jika pemerintahan SBY memiliki komitmen kuat penegakan HAM, maka dapat memerintahkan secara tegas penyidikan dan penuntutan kepada Kejaksaan Agung dengan mengeluarkan Kepres pembentukan pengadilan HAM sesuai UU No. 26 Tahun 2000.
Sikap diam SBY ini menyiratkan kuatnya praktek impunitas (Impunity) terhadap pelaku pelanggaran HAM berat (gros violation of human rights) dimasa lampau karena tidak ada yang bertanggungjawab. Pelaku pelanggaran dibiarkan tak tersentuh hukum seakan-akan mempunyai kekebalan hukum dan aparat tak berkutik terhadap pelaku pelanggaran atau kejahatan. Pelaku menikmati hak-hak istimewa –karena kekebalannya- dan menikmati perlakuan khusus dalam hukum yang dibiarkan oleh negara.
Impunitas telah mengakibatkan prinsip persamaan dimuka hukum (equality before the law) dikorbankan. Hukum tak lagi berlaku bagi semua orang, melainkan justru hanya berlaku bagi orang-orang yang tak berdaya. Negara melalui para pejabat dan penegak hukum telah melakukan penyalagunaan kekuasaan (abuse of power) dan bertindak diskriminatif. Bagi para korban pelanggaran HAM, impunitas berarti tidak ada hak mereka menuntut keadilan. Negara telah merestui kekejaman dan menjadi sekutu kejahatan itu sendiri.
Keberlakuan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang bertujuan menjerat para pelaku pelanggaran HAM tidak menunjukkan keberpihakan pada korban terhadap akses keadilan. Peradilan yang diharap berlangsung adil dan jujur justeru penuh dengan tekanan dari para tersangka (TNI/Polri) tanpa ada upaya dari pemerintah untuk mencegahnya, dan yang lebih fatal dakwaan dan tuntutan jaksa dalam beberapa persidangan pengadilan HAM (Timor-Timur, Tanjungpriok dan Abepura) dinilai sangat lemah dan para saksi kunci tidak dihadirkan dalam persidangan, sementara hakim tidak mengeksplorasi bukti-bukti dan fakta persidangan secara mendalam, hak-hak korban pelanggaran HAM juga terabaikan dan tidak dipenuhi negara, pengadilan HAM dibentuk sebagai sikap responsif tetapi konservatif dalam substansi sehingga susah menjerat para pelaku dan masih kuatnya pengaruh politik sisa Orde Baru dalam tatanan politik kekuasaan reformasi. Pelanggaran HAM berat semakin banyak dan terus meningkat, pengadilan HAM dibentuk tapi tak satupun pelakunya dapat dipenjarakan. Atau sengaja dibentuk untuk digagalkan.