Oleh George Junus Aditjondro
Behind every big fortune,
is hidden a big crime.
Pengantar
Adakah
kaitan antara bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti
sebuah lelucon saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara
dokter dan stetoskop? Atau: adakah kaitan antara dokter dan penyakit?
Praktek bisnis, terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan
siasat-siasat bisnis yang dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam
makalah ini, terlebih dahulu penulis akan menyajikan pengertian korupsi
menurut Syed Hussein Alatas dan William J. Chambliss, sebagai kerangka
teoretis untuk menyoroti praktek-praktek korupsi korporasi besar di
Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam bidang kegiatan
korporasi-korporasi besar yang bergelimang dengan praktek korupsi.
Syed
Hussein Alatas (1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang
sosiolog yang mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang
berbeda. Alatas mempelajari korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa
1950-an, 1960-an dan 1970-an, di mana kolonialisme mengukuhkan
praktek-praktek korupsi yang sudah mengakar sejak zaman feodal.
Sedangkan Chambliss mempelajari korupsi di Amerika Serikat, khususnya di
Seattle, ibukota negara bagian Washington, dari tahun 1962 s/d 1969.
Temuannya tentang ‘cabal’ (jejaring korupsi) yang menjelujuri kota-kota
besar di sana meruntuhkan pandangan umum bahwa korupsi lebih merupakan
gejala negara-negara berkembang, yang belum mengenal sistem politik
demokratis yang sarat dengan checks and balances yang dianggap dapat meniadakan peluang-peluang korupsi.
Secara
ringkas, tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok
sebagai berikut: (a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan
atau keuntungan pribadi; (b). unsur kerahasiaan; dan (c). pelanggaran
terhadap norma-norma umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi menurut Alatas,
terdiri dari suap (bribery), pemerasan (extortion),
dan nepotisme (lihat Aditjondro 2004: 7). Dalam wacana korupsi di
Indonesia dan di luar negeri, istilah nepotisme hanya digunakan apabila
dalam tindakan korupsi itu hanya sanak saudara atau kerabat yang
dilibatkan. Sementara kalau yang dilibatkan itu adalah kawan atau orang
dekat yang tidak punya hubungan darah dengan sang pejabat, istilah
“kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.
Chambliss, sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan terorganisir (organized crime),
bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan
dari suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan
sekurang-kurangnya empat unsur, yakni birokrat (yang mengeluarkan izin),
pengusaha, politisi (yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam
dan di luar parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan
perbuatan pengusaha merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti
yang telah penulis rangkum di tempat lain:
“Kepentingan
ekonomi para anggota cabal itu diproteksi lewat sogokan maupun tekanan
fisik, terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat yang dikuasai oleh
cabal itu. Bentuk tekanan fisik waktu itu adalah pembunuhan dengan
menenggelamkan orang-orang yang berani membangkang terhadap kemauan
sindikat pemimpin cabal itu. Pelanggaran HAM itu kemudian ditutup-tutupi
dengan bantuan statistik kematian penduduk kota itu, di mana
kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai ‘kecelakaan’, bukan
‘kejahatan’ (kriminalitas).
Sedangkan
bentuk sogokan untuk membungkam pengusaha yang keberatan membayar upeti
kepada sindikat cabal itu, ada yang berbentuk menyodorkan pekerja seks
komersial kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’
beberapa birokrat kelas teri untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara,
seperti ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy berusaha membongkar
belenggu cabal itu. Ketika sejumlah birokrat ini
dipenjara, kesejahteraan keluarga mereka tetap dijamin oleh pimpinan
cabal yang pada akhirnya tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah]
Federal.” (lihat Aditjondro 2004: 8-9).
Dengan
demikian, tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan
korupsi seperti sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang
pejabat di lingkungan pemerintahan, atau pemberian fasilitas bisnis
kepada perusahaan milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu juga
kita amati keseluruhan jejaring korupsi (cabal) di mana terjadi
interaksi yang mesra antara pejabat, pengusaha, dan aparat penegak
hukum. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi
itulah yang biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul
singkatan “KKN” (korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi
korupsi, sebenarnya semuanya sudah tercakup dalam istilah korupsi.
Makanya, dalam makalah ini hanya istilah “korupsi” yang digunakan, dalam
pengertian yang sudah mencakup “kolusi” dan “nepotisme”.
Enam Bidang Kegiatan Korporasi yang Sarat Korupsi
Setiap jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties).
Misalnya, ketidakpastian pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan
tenaga kerja, serta ketidakpastian permintaan akan produk yang
dihasilkan (ketidakpastian pasar). Itu sebabnya, suatu strategi bisnis
yang lazim di dunia bisnis adalah mengurangi satu atau lebih faktor
ketidakpastian itu. Bahkan kalau bisa, mengurangi semua faktor ketidakpastian itu. Manajer atau CEO (chief executive officer) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu.
Dari
pengamatan terhadap sejumlah praktek bisnis di Indonesia, ada enam
bidang kegiatan korporasi di mana faktor-faktor ketidakpastian itu
berusaha ditekan dengan cara-cara yang sarat korupsi. Keenam bidang itu
adalah (a). pengadaan dan penguasaan tenaga kerja, baik tenaga kerja
dari dalam maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan penguasaan bahan
baku, khususnya untuk industri ekstraktif yang mengandalkan sumber daya
alam dari daerah tertentu (misalnya dalam industri pertambangan,
kehutanan, dan perikanan) serta industri yang mengganti tanaman lokal
milik rakyat setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan
tanaman industri (HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber energi
setempat, misalnya tenaga air dan batubara; (d). penciptaan dan
penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik; (e).
pengadaan sumber-sumber keuangan serta pengamanan keuntungan.
Keenam
bidang usaha itu didukung oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima
bidang tadi, yakni (f). pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka
dalam berbagai bidang dan fase kegiatan, mulai dari pengadaan izin untuk
berusaha di sektor yang diminati korporasi-korporasi besar tersebut.
Marilah kita lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.
Ad a + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:
Mantan
Menteri Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT
Djajanti Djaya, guna mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB
untuk menjalankan kilang kayu lapis perusahaan itu di Pulau Seram,
Maluku.
Mantan
Dirjen Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti
Djaya, untuk mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam
pengelolaan anak-anak perusahaan Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik,
Jawa Timur.
Perusahaan
pengelola asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob
Nuwa Wea, dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke
Timur Tengah, untuk mempermulus urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Ad b + f: Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:
Mantan
Gubernur Papua Barat, Izaac Hindom, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT
Artika Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki
daerah konsesi hutan di Papua Barat, guna mengamankan bahan baku bagi
kilang kayu lapis PT Djayanti Djaya di Pulau Seram, Maluku.
Mantan
Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, didudukkan dalam Dewan
Komisaris PT Hardaya Inti Plantation, guna pengamanan pengadaan lahan
bagi perkebunan kelapa sawit anak perusahaan CCM (Cipta Cakra Murdaya)
di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat Aditjondro 2004a: 54).
Ronny
Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara),
Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris
perusahaan di atas, untuk mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh
dan oposisi petani desa-desa setempat (lihat Aditjondro 2004a: 53).
Pimpinan intelligence
yang lain ada di daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha
nasional yang berkiprah di daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara
dan Gorontalo, Brigjen (Pol) Wenny Warouw, sering mengaku-aku menjadi
anak angkat Nyonya Melly Pirieh, yang lebih dikenal sebagai Ny. Melly
Eka Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso tahun 1931 itu memang salah
seorang istri tokoh pengusaha nasional, Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek
Tjong), pemimpin kelompok Sinar Mas. Bersama ketujuh orang anaknya,
Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya sendiri, yakni kelompok Duta
Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke Sulawesi
Utara, tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal.
A-1603 – A-1607).
Selain
tokoh-tokoh nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri
ekstraktif seperti pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering
melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu, untuk meredam
kemungkinan oposisi dari rakyat setempat. Salah satu contohnya adalah
kelompok industri perkayuan di Kalimantan Tengah mendudukkan Winfred
Tungken, seorang bankir asal Kalteng, dalam dewan komisarisnya.
Di
Kalimantan Barat (Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang
masih keponakan mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, masuk dalam
industri perkayuan di daerah itu, bersama mantan Bupati Kapuas Hulu,
Yakobus Frans Layang, seorang ningrat Dayak yang berdarah campuran suku
Tamambaloh dan Iban. Perusahaan mereka berstatus PMDN lokal, berbentuk
aliansi koperasi-koperasi masyarakat adat.
Memang
dari sudut membangun potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali.
Namun dari sudut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah ada persoalan, sebab Pasal 48 Undang-Undang itu melarang Kepala
Daerah untuk terjun secara langsung dalam bidang bisnis (lihat
Aditjondro 2004: xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Wakil
Bupati, yang dalam banyak hal harus siap menjalankan tugas-tugas Bupati
apabila atasan langsungnya itu berhalangan.
Secara
nasional, pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO)
yang dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan
bahan baku bagi kilang-kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat
dan kroni Soeharto yang lain (lihat Ekloef 1999: 125, 145-6).
Ad c + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat:
Pelibatan Ny.
Siti Hardiyanti Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai
langkah pengamanan sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel
bermodal Kanada, yang beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya,
Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Di
Sulawesi Tengah, di masa pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang
anak sang gubernur menjabat sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi
menjabat sebagai Kepala PLN Sulawesi Tengah, dan seorang lagi menjabat
sebagai ketua GAPENSI Sulawesi Tengah. Itu sebabnya kegigihan sang
Gubernur untuk mendukung rencana pembangunan seubah PLTA dengan
membendung Danau Lindu di Kabupaten Donggala, dapat dilihat sebagai
usaha melindungi kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan
tenaga listrik bagi perusahaan-perusahaan yang dekat dengan sang
Gubernur.
Baru-baru
ini, sebelum dilantik menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu
perusahaan miliknya, PT Bukaka Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp
100 juta untuk penyelenggaraan Sidang Sinode Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20 Oktober yang lalu. Mengingat
bahwa keluarga Kalla jelas-jelas bukan anggota jemaat GKST, maka
‘sumbangan’ itu, dapat dilihat sebagai usaha mengambil hati warga jemaat
GKST yang bermukim sepanjang Sungai Poso yang akan disadap energinya
untuk membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200 MW, yang mau
tidak mau akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat
bahwa ada perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat
dalam pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso,
seperti PT Bumi Karsa dan PT Bumi Sarana Utama, ‘sumbangan’ kepada GKST
itu dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber energi bagi
kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Kalla di Sulawesi Tengah.
Ad d + f: Korupsi dalam penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik:
Pengendalian
harga beras dan pengaturan impor beras oleh badan yang sama, yakni
BULOG, menguntungkan PT Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama
dimiliki oleh keluarga Soeharto dan kelompok Salim, untuk menciptakan
pergeseran menu rakyat Indonesia ke mi instan (lihat Aditjondro 2002:
11). Seperti ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno (2002: 18):
“Akibat
penguasaan hulu ke hilir yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat
Indonesia dirugikan aksesnya terhadap terigu dan seluruh produk
turunannya. Kerugian ini muncul dalam bentuk menurunnya kesejahteraan
sosial yang diakibatkan pengendalian harga terigu dan produk turunannya
yang semena-mena oleh perusahaan-perusahaan Grup Salim”.
APKINDO
yang telah disinggung di atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang
oligopsonik bagi kilang-kilang kayu lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan
serta sejumlah kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Aditjondro
2002: 23).
Di
samping itu, untuk mempermulus masuknya mobil Kia ke pasaran, bersaing
dengan mobil-mobil lain, kelompok Artha Graha pimpinan Tomy Winata
mengangkat Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, sebagai presiden komisaris PT
Kia Mobil Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi untuk mengimpor dan
menjual 12 jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea Selatan.
Seorang anak Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi
komisaris perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di
Sulawesi Tengah, menjadi salah seorang direktur perusahaan itu (lihat
Aditjondro 2004a: 55). Lewat hubungan yang dekat antara Hendropriyono
dan Kapolri Da’i Bachtiar, juga antara Tomy Winata dan suami
mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil
impor PT KMI itu dihibahkan ke polisi di banyak tempat. Berkat patroli
polisi ke pelosok-pelosok daerah di mana mereka bertugas, mobil Kia
dipromosikan atas biaya rakyat ke berbagai pelosok tanah air.
Perang,
atau konflik bersenjata, juga merupakan siasat untuk melariskan produk
pabrik senjata dan amunisi. Hal itu dapat dilihat dari populernya
senjata dan peluru buatan PT Pindad, pabrik senjata milik TNI/AD, di
tiga daerah konflik, yakni Aceh, Ambon dan Poso. Senapan api yang banyak
dipakai oleh pihak-pihak yang bertempur adalah SS (Senapan Serbu) 1
buatan Pindad, sedangkan peluru yang tersebar paling merata di tiga
daerah konflik itu adalah kaliber 5,56 mm. Selain itu masih ada lagi
sejumlah senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad
(lihat Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).
Dalam
kasus konflik Poso, selain melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang
pengusaha keturunan Arab asal Poso, Hasan Nazer (56), yang diduga ikut
berperan melariskan produk-produk Pindad di kabupaten yang dulu dikenal
sebagai penghasil kayu hitam itu. Setelah hijrah ke Jakarta, Hasan dan
seorang abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis pengiriman TKW ke
Arab Saudi dengan nama Amri Brothers. Sesudah bergelimang uang dari
bisnis TKWnya, Hasan membuka bisnis pengecoran besi dan baja, PT Metinca
Prima Industrial Work, yang punya satu pabrik di Tambun (Bekasi) dan
satu lagi di Cakung.
Entah
bagaimana caranya, satu saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai
jadi pemasok tiga komponen penting dari senjata SS-1, yakni pelatuk,
hammer dan vicier. Menurut seorang narasumber, Hasan bisa mendapat order
berkelanjutan dari Pindad itu karena hubungannya yang dekat dengan BJ
Habibie, yang diperkenalkan kepadanya oleh Jendral Faizal
Tanjung. Dalam wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan
menyangkal bahwa ia mengenal BJ Habibie secara pribadi. Order Pindad
yang memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi itu baginya hanya
pemancing order-order lain dari perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat
Aditjondro 2004c: 140).
Namun,
jawaban itu sangat meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi
rekanan Pindad sejak sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek
BJ Habibie masih menjabat sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri
Strategis), yang juga membawahi Pindad. Selain itu, dalam beberapa
percakapannya kemudian dengan penulis, Hasan juga membangga-banggakan
hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral, yang katanya didasari
oleh pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate. Berarti, besar
kemungkinan ia juga mengenal Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya, sebagai
pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan tentunya tahu berapa ribu
pucuk SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga
dapat memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu—Aceh, Ambon, dan
di tanah kelahirannya sendiri, Poso—masih akan berkelanjutan, atau
tidak. Paling tidak, ajang latihan karate dapat menjadi ajang pertukaran
informasi tentang kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f: Korupsi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan keuntungan:
Winfrid
Tungken, salah seorang direktur Bank Dagang Negara (BDN), bersedia
‘dibajak’ oleh pengusaha pemilik HPH di daerah asalnya, Kalimantan
Tengah. Dengan demikian pengusaha itu mendapat dukungan dari seorang
putra daerah, sekaligus akses ke dana kredit dari bank pemerintah yang
pernah dipimpin oleh Tungken. Alih profesi dari bankir ke komisaris
perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan banyak juga
dilakukan di era Orde Baru, demi mempermudah aliran dana publik ke
perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari pendapatannya sebagai
komisaris dan pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun
kekayaannya sendiri berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu,
perkebunan, peternakan, pupuk, dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup
besar itu tidak dapat mencegah merosotnya kesehatannya, setelah menikah
kembali sepeninggal isteri pertamanya. Ia kini berbaring dalam keadaan
koma di rumah sakit di Singapura.
Kasus
paling mencolok di bidang ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI
yang memperoleh gelar doktornya di AS, dalam pengadaan sumber-sumber
keuangan bagi kerabat dan kroni Soeharto. Selama menjabat sebagai Dirjen
Pajak dan kemudian Menteri Keuangan dalam kabinet Soeharto yang
terakhir, sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto mendapat
keringanan atau pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris PT
Satelindo, perusahaan pengelola komunikasi satelit milik Bambang
Trihatmojo, Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD.
Selain itu, ia juga dipercaya menjadi wakil bendahara Yayasan Dana
Sejahtera Mandiri yang didirikan oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang
memungut pajak tambahan sebesar 2% dari setiap pembayar pajak di
Indonesia, dan dalam tahun anggaran 1996-1997 berhasil mengumpulkan $
270 juta. Sebagian dana itu diduga digunakan untuk membiayai kampanye
Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat Aditjondro 1998: 50; Ekloef 1999: 156;
O’Rourke 2002: 75).
Namun,
tindakan Fuad Bawazier yang paling menghebohkan, atas perintah
Soeharto, adalah pembebasan bea masuk bagi 1500 unit sedan Kia yang
disulap namanya oleh Tommy Soeharto menjadi “mobil Timor”. Sebelumnya,
PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto telah mendapat pinjaman
sebesar $ 690 juta dari empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untuk
membangun pabrik perakitan mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di
belakang Menteri Keuangan Bambang Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur,
ketika Menteri ini menghalang-halangi usaha Menteri BUMN Laksamana
Sukardi membongkar hutang PT Texmaco sebesar Rp 17 triliun kepada
bank-bank pemerintah (lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 46, 66, 77,
335, 361, 420).
Dari
bagian keuntungan yang telah diperolehnya, ia ditengarai ikut membiayai
PAM Swakarsa yang diadu dengan para aktivis mahasiswa selama Sidang
Umum MPR bulan November 1998, dan juga ditengarai ikut membiayai Laskar
Jihad yang dikirim ke Maluku dan Poso, berkat hubungan baiknya dengan
Pangab Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002: 292. 420).
Yang
jelas, sambil menjabat sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahan
Gus Dur dan Megawati, bekas kroni Soeharto itu berhasil membangun
perusahaan pialang saham (PT Widuri Securities), perusahaan perakitan
motor Kanzen (PT Semesta Citra Motorindo), dan perusahaan portal
internet www.detik.com bersama Rini
Suwandi. Di luar bisnisnya bersama Menteri Pedagangannya Megawati itu ia
memegang keagenan Kia jenis sedan mewah dan kendaraan militer, melalui
Kia Commercial Vehicle Industry (lihat Aditjondro 2004: 51-53).
Semua
kekayaan itu tidak membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang
portofolio Menteri Keuangan dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang
diperjuangkannya dengan meloboi sejumlah gereja Kristen di Indonesia.
Apakah ia akan berhasil atau tidak, kita lihat saja tanggal 20 Oktober
2004.
Akhirnya,
bagaimana kekayaan yang terakumulasi di dalam negeri itu dapat
diamankan di luar negeri? Sejumlah kantor pengacara dan akuntan
internasional di AS, Hong Kong, dan Negeri Belanda, serta sejumlah bank
Belanda telah membantu keluarga Soeharto mengamankan uang haram hasil
korupsi mereka ke tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan Antillen
Belanda. Di antara bank-bank internasional yang turut terlibat dalam
pencucian uang keluarga Soeharto adalah Indover Bank NV, anak perusahaan
Bank Indonesia di Belanda, tiga bank Belanda, yakni MeesPierson NV,
ABN-AMRO dan ING Bank NV, sedangkan kantor-kantor akuntan internasional
yang dimanfaatkan oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk
mengutuhkan hasil korupsi mereka adalah Ernst & Young serta
PriceWaterhouseCoopers (lihat Aditjondro 2002: 20-27).
Ad f: Pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan:
Dari
berbagai contoh di atas dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan
pejabat publik—terutama eksekutif—dalam berbagai bidang kegiatan itu.
Perlu diberi catatan khusus di sini bahwa tokoh-tokoh legislatif juga
ikut berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka mendapat
saham kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham
perkebunan kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok
Salim, di Kalimantan Selatan (lihat Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan
Theo Sambuaga, yang sempat dicalonkan oleh Koalisi Kebangsaan untuk
menjadi Wakil Ketua MPR-RI, tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia
tercatat sebagai direktur PT Mongondow Indah dengan HGU perkebunan
coklat seluas 733 hektar di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara.
Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang komisaris PT Texmaco
Jaya, holding company kelompok Texmaco yang dari bidang tekstil berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).
Kita
tahu bahwa kelompok Texmaco pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang
bermasalah dengan pemerintah, khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan
Perbankan Nasional), karena masih terbelit utang sebesar Rp 29 trilyun
kepada sejumlah bank dalam dan luar negeri (Radar Sulteng, 18 Oktober
2004). Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan
MPR-RI, apakah itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying ke pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?
Saat
ini pun, pimpinan badan-badan legislatif tertinggi di Indonesia ada
bahaya “terbajak” oleh kepentingan bisnis salah satu keluarga terkaya di
Indonesia dan satu keluarga terkaya di Sulawesi Selatan. Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir dalam arena
politik Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang
keluarga besarnya di lingkungan pengamat ekonomi politik Indonesia
dianggap keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di Indonesia,
setelah keluarga besar Soeharto dan Habibie.
Ginanjar
adalah abang kandung dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang
komisaris dalam PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla
(lihat Aditjondro 2004a: 64-5). Padahal M. Jusuf Kalla kini adalah wakil
presiden terpilih, sementara saudara iparnya, Aksa Mahmud, terpilih
sebagai wakil ketua MPR dari kubu Koalisi Kerakyatan yang pro-SBY-MJK.
Nah, dengan munculnya Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa
Mahmud ke pentas politik nasional di pucuk pimpinan eksekutif dan
legislatif, maka besar kemungkinan bahwa puluhan perusahaan milik
keluarga Kartasasmita, kelompok Haji Kalla, dan kelompok Bosowa akan
mengalami masa keemasan, apabila peraturan-peraturan untuk mencegah
konflik kepentingan tidak diterapkan di tahun-tahun mendatang.
Celakanya,
budaya politik untuk menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi
besar berikut konglomeratnya dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama
berurat akar di bumi Nusantara. Budaya politik untuk menjadikan korupsi
sistemik berwujud jejaring (cabal) sebagai strategi bisnis yang
dianggap halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama
juga diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke
Indonesia.
Masuknya
maskapai tambang Texaco di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan
dua contoh masuknya korporasi transnasional melalui lingkaran kekuasaan
politik ke Indonesia. Masuknya Texaco ke Riau, di mana perusahaan itu
beroperasi di bawah nama Caltex, dibidani oleh Julius Tahiya, seorang
pensiunan perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi presiden
direktur PT Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun dekat dengan
tokoh-tokoh PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio
Sastrosutomo, Tahiya juga mampu memposisikan dirinya dekat dengan
Presiden Soekarno. Berkat kedekatannya dengan Soekarno itu,
ladang-ladang minyak Caltex di Riau tidak diambil alih oleh pemerintah.
Setelah kudeta 1965, Tahiya berganti loyalitas ke Jendral Soeharto
(lihat Aditjondro 1999: 60; Leith 2003: 59).
Naiknya
Soeharto ke tampuk pemerintahan segera disambut oleh pimpinan maskapai
tambang Freeport. Kali ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai
penghubung ke rezim yang baru. Ia didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan
Sekjen Departemen Pertahanan di era 1950-an, yang kemudian diangkat
menjadi presiden direktur PT Freeport Indonesia yang pertama. Seluruh
proses itu terjadi di bawah bayang-bayang Foreign Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden AS, Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).
Selain
oleh korporasi-korporasi transnasional, budaya politik yang
menghalalkan munculnya praktek bisnis yang korup juga disuburkan oleh
Bank Dunia, selama era Soeharto. Sesudah jatuhnya Soeharto, Bank Dunia
mengakui bahwa mereka menyadari bahwa 30 % lebih dari seluruh dana
pembangunan yang mereka salurkan melalui pemerintah Indonesia dikorupsi
oleh para pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor perwakilan
Bank Dunia di Jakarta menghalalkan tingkat korupsi yang lebih dari 30%
itu sebagai semacam “pajak” terhadap roda ekonomi Indonesia yang
berputar cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang berkepanjangan,
pada tahun 1999 sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di
Indonesia menyalahkan staf mereka yang terlalu memikirkan karier mereka
sendiri, atau terlalu takut menyinggung perasaan pemerintah Indonesia
yang merupakan salah satu “klien” Bank Dunia yang terbaik. Makanya kata
“korupsi” pun baru digunakan dalam laporan-laporan Bank Dunia tentang
Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith 2003: 33-4).
Kesimpulan
Sebagaimana halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized crime)
adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi, dan korupsi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi bisnis
korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi
merupakan strategi bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya,
korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal), di mana ketiga jenis korupsi
menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta nepotisme/kroni-isme,
hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.
George Junus Aditjondro, Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasehat CeDSoS, Jakarta
Referensi:
Aditjondro, G.J. (1998). Dari
Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua
Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------(1999). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae. Jakarta: SOLIDAMOR.
--------------- (2002). “Suharto has gone – but the regime has not changed.” Dalam Richard Holloway (peny.). Stealing From the People: 16 Studies on Corruption in Indonesia. Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-66.
-------------- (2004a). Membedah
Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi
Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Akitivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
--------------(2004b).
“Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi
Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur.”
Wacana, INSIST, Yogyakarta, No. 17/Th. III, hal. 137-77.
------------- (2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-55.
Ekloef, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. Copenhagenm: NIAS (Nordic Institute of Asian Studies).
Leith, Denise (2003). The Politics of Power: Freeport ion Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
O’Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
Ridwan, Mad & Guntoro Soewarno (2002). Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal. Jakarta: Global Mahardika.
Makalah
pernah disampaikan untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society
Organizations to Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia”
yang diselenggarakan oleh The Business Watch Indonesia dan NOVIB di
Jakarta, 20-22 Oktober 2004.
Sumber : oaseonline.org